Lobi Blok Masela di Privat Jet

Ambon Ekspres

13 January 2016

JAKARTA, AE.— Pro kontra Rencana pembangunan kilang produksi gas di Blok Masela belum diputuskan Presiden RI, Joko Widodo, apakah dibangun di laut (Floating LNG Plant) atau  membangun kilang gas alam cair di darat (On shore LNG Plant).

Namun tarik menarik kepentingan ini dituding justeru banyak menguntung oknum pejabat di pusat, ketimbang proyek triliun rupiah itu mendatangkan manfaat bagi masyarakat Maluku.

Tudingan ini bukan tak mendasar. Kemarin, beredar foto Direktur Hulu Migas Kementerian Energi dan sumberdaya mineral (ESDM), Djoko Siswanto bersama pramugari cantik di dalam private jet bikin heboh twittwer. Dalam keterangan foto yang diunggah akun twitter @energibebas, hari Senin (11/1) sekitar pukul 2 siang, tertulis private jet itu milik bos perusahaan minyak dan gas.

Menurut akun @energibebas yang memilili 5.934 followers itu, hasil dari plesiran Djoko Siswanto bersama bos perusahaan migas menggunakan jet private ini adalah dikeluarkannya putusan Blok Masela menggunakan skema lepas pantai (float liqiufied naturas gas/FLNG).

Akun ini menyebut keputusan FLNG merupakan suatu langkah yang merugikan negara dan terlalu menguntungkan asing. Sebab, kilang apung tidak memberikan kontribusi pada pembangunan daerah. Hanya saja tidak diketahui, apakah foto yang diunggah itu baru saja, atau foto lama yang sengaja diunggah kembali di twitter.

Hal senada pernah dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim, Rizal Ramli yang cenderung setuju Blok Masela dikelola secara landing atau Pipanisasi.

Resiko Lingkungan

Bukan hanya soal untung rugi secara finansial, dari sisi dampak lingkungan perlu diperhatikan. Pengamat lingkungan dari Universitas Pattimura (Unpatti) Yustinus T. Male mengatakan, Pembangunan kilang produksi tentu menggunakan banyak peralatan, sehingga membutuhkan lahan yang luas. Karena yang dibangun adalah kilang produksi bukan tempat penimbunan. Kendati potensi pencemaran lingkungan lebih kecil dibanding produksi minyak.

“Di darat, itu membutuhkan sumber daya yang cukup besar. Tanah, hutan, dan air. Jangan sampai kita mengejar ekonominya, lingkungan kita abaikan,” ingatnya, Selasa (12/1).

Apalagi, kata Male pulau-pulau di sekitar lokasi eksploitasi potensi gas abadi itu adalah pulau-pulau kecil. Jika digunakan untuk membangun kilang produksi gas, maka akan berdampak bagi lingkungan di pulau tersebut.

“Dipastikan banyak pohon yang ditebang. Dan jangan lupa babwa itu proyek besar di pulau kecil, dampaknya besar terhadap ekosistem. Karena, ingat, ini pulau kecil,” tegasnya.

Menurut Male, banyak aspek yang harus dipertimbangkan bila kilang itu dibangun di darat, diantaranya kilang tidak boleh dibangun di hutan lindung dan jangan sampai dibangun di daerah pantai yang ditumbuhi pohon mangrove. Sejauh mana dampak itu dapat minimalisir, tergantung kajian analisis dampak lingkungan (Amdal).

Sementara bila kilang dibangun di laut, kata Male risiko dampak lingkungannya lebih kecil. Sebab, yang diproduksi bukan minyak, yang berisiko akibat tumpah di tengah laut. Tapi yang diproduksi nanti adalah gas, itu lebih ramah terhadap lingkungan dan tidak membutuhkan lahan sebagaimana di daratan.

“Di laut, kalau dari segi lingkungan, lebih aman. Itu untuk gas. Jadi lebih ramah,” katanya. Kendati begitu, dari sisi pemberdayaan masyarakat, Male yang merupakan pemuka masyarakat kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) itu sepakat bila kilang produski dibangun di darat. Dengan catatan, masalah lingkungan juga harus mendapat porsi yang sama dalam daftar pertimbangan oleh pemerintah pusat.

“Karena kilang itu luas, jadi ada peluang pemberdayaan masyarakat. Karena butuh tenaga kerja, perlu makan, serta perumahan. Dan sektor ekonomi digerakkan. Kita sepakat, yang dibangun adalah kilang, ini untuk produksi, yang penting masalah lingkungan juga diperhatikan,”ujarnya.

Kendati perusahaan yang akan memproduksi potensi gas di Blok Masela itu adalah perusahaan besar dan berpengalaman di bidang pertambangan, tentu memiliki SOP (Standard Operating Procedures) yang jelas tentang lingkungan, namun perlu dikontrol oleh pemerintah daerah dan masyarakat.

Pengamat lingkungan lainnya dari Universitas Pattimura (Unpatti) Abraham Tulalesy, mengatakan pemerintah harus maksimal dalam mempertimbangkan dampak buruk bagi lingkungan, disertai langkah untuk memperkecil atau mengatasi dampak tersebut.

“Konsekuensinya, pembangunan darat dan laut tetap terjadi pencemaran lingkungan,” katanya.

Pertimbangan aspek ekonomi tentu menjadi salah satu hal penting dalam rencana pembangunan kilang produksi gas. Sehingga, menjadi lebih baik bila dibangun di darat. Namun, itu harus disertai pertimbangan yang matang serta strategi yang baik dalam memperkecil potensi dampak lingkungan. (MAN)